04 September 2008

Jalan Kaki (bagian pertama)

Hari semakin gelap. Matahari telah kembali ke peraduannya. Pandanganku mulai meredup. Kulihat di sekelilingku, lalu lintas tetap ramai. Sorot lampu mobil dan motor berlari-lari ke sana kemari. Tak ada satu orangpun pejalan kaki di sekelilingku. Tapi itu tidak membuatku merasa kesepian. Senandung penyanyi pop terkenal kulantunkan dengan mantap. Aku merasa capek tapi bahagia. Aku berhasil menyelesaikan tantangan yang kubuat sendiri. Sesekali kulambaikan tangan ku ke kiri dan ke kanan. Bak seorang penyanyi konser yang sedang beraksi di atas panggung. Beberapa kendaraan yang melintasiku berhenti karena lampu merah. Kepala mereka melongok ke luar jendela. "Kau tidak akan bisa merasakan kebahagiaan yang kurasakan saat ini!", teriakku dalam hati. Mereka tersenyum-senyum sendiri. Pasti mereka pikir aku sudah gila. Di tengah serba ketidakpastian yang melanda negara ini, bagaimana mungkin bisa ada orang yang segembira itu. Pasti itulah yang ada di benak mereka. Tidak! Merekalah yang berpotensi gila! Sebab mereka selalu membawa persoalan hidup mereka setiap harinya. Kalo aku? Selalu berusaha kulepaskan di malam harinya. Entah dengan bernyanyi atau dengan menulis. Yang jelas nggak pernah dengan cerita ke orang lain. Memang aku punya siapa? Orang tua? Mereka terlalu sibuk bekerja! Teman? Mereka hanya ada di saat aku senang! Satu-satunya orang yang bisa kupercaya hanyalah diriku sendiri. Dan tentu saja sebuah kotak berlayar, tempatku mencurahkan semua isi hatiku lewat tulisan.

Kulihat jam tanganku. Sudah menunjukkan pukul 18.45. Kakiku mulai nggak bisa diajak kompromi. Padahal sudah separuh jalan. Nggak! Nggak boleh aku nyerah begitu aja! Perempatan momok sudah kulewati. Tinggal jalan lurus aja untuk menuju ke rumahku. Aku nggak boleh naik kendaraan umum. Apalagi sampe nelpon pak supir minta jemput. Tapi kalo cuma berhenti sebentar kan boleh aja. Lagian aku haus. Aku nggak mau pingsan di jalan karena kehausan. Kulihat dari kejauhan, ada sorot lampu petromak. Ah! Bagus! Ada warung! Aku berjalan beberapa langkah menuju sorot lampu. Berhenti di depan warung, dan minta teh botol, minuman favoritku. Ahh....lega banget. Setelah bayar minuman, aku kembali melanjutkan perjalanan. Dan sepuluh menit kemudian aku sampai di rumah. Bibi membukakan pintu pagar. "Tadi naik angkot, non?", tanya bibi. "Nggak bik! Aku jalan kaki dari sekolah tadi.". Bibi keheranan. Aku langsung nyelonong masuk, sambil ninggalin bibi yang masih melongo takjub sekaligus nggak percaya. Ruang keluarga masih kosong. Berarti papi mami belum pulang. Kalau sudah pulang biasanya papi mami duduk santai di sofa ruang keluarga, sambil baca koran yang nggak sempat dibaca pagi hari. "Non Silvi, makan malem udah bibi siapin di meja.", teriak bibi dari dapur. Aku nggak memperdulikan si bibi ngomong apa. Langsung aja aku naik ke atas, menuju kamarku. Di kamar, aku tiduran sebentar. Nggak sampai 20 menit, aku kebangun. Badan capek. Kaki pegel. Langsung kuseret handuk di jemuran dan bergegas ke kamar mandi. Di kamar mandi, aku melanjutkan euforiaku. Sambil lagi-lagi bergaya bak Mai Kuraki, penyanyi idolaku, yang sedang konser.

Selesai mandi, aku ke ruang makan sebentar. Ngintip ada apa di balik tutupan meja makan. Ada ayam goreng, sayur asem, sama sambal. Bah! Lagi-lagi bibik masaknya ndak mutu, pikirku. Tapi daripada kelaparan, aku nurut aja. Habis makan aku bergegas kembali ke kamar. Pas menuju kamar, aku dengar suara papi sama mami di bawah, baru pulang. Ah! Aku males turun! Lagian aku masih kesel gara-gara aku nggak dijemput tadi pulang sekolah. Perjalanan ke kamar berlanjut. Di kamar, aku nelpon Mitha, teman sebangkuku. Kita ngoborol-ngobrol di telpon cukup lama. Di telpon aku menceritakan bagaimana aku berhasil menyelesaikan tantanganku yang kubuat sendiri, jalan kaki dari sekolah sampai ke rumah. Mitha takjub sekaligus nggak percaya. Dia ngasih applause buat aku. Aku jadi geer sendiri. Terus aku bilang ke dia, besok pagi aku mau coba jalan dari rumah sampai ke sekolah. Supaya tantanganku sempurna jadinya. Mitha sempat ngelarang. Katanya dia takut satu kelas jadi bau keringatku. Nggak mungkin, kataku. Aku nanti bakalan bawa deodoran sama parfum buat nutupin bau keringat. Mitha akhirnya nyerah juga. Dia tau kalau aku orangnya keras kepala. Kuakhiri pembicaraanku dengan sahabatku di telpon dengan ucapan selamat malam. Lalu kututup telponnya perlahan-lahan.

Jam di HP baru menunjukkan pukul 4.30 pagi, tapi alarm sudah berbunyi. Sengaja kupasang dengan suara yang agak lembut, supaya nggak membangunkan yang lain. Suara alarmku, lagunya Mai Kuraki yang Secret of My Heart versi piano. Sengaja kurekam sebulan lalu, dan kusetel jadi alarm. Cuma dengan cara ini aku bisa kebangun.

Sambil mengendap-ngendap aku mengambil handuk di jemuran, terus mandi. Aku mandi sambil lagi-lagi menirukan gaya Kuraki Mai yang lagi konser. Selesai mandi, aku cepat-cepat berpakaian. Kutengok jam dinding. Masih jam 5.15. Aku ke meja makan, dan melihat sarapan sudah siap di atas meja. Aku memang sengaja bilang ke bibi tentang rencanaku mau berangkat sekolah jalan kaki pagi ini. Aku juga sudah pesan ke bibi supaya bilang ke papi mami kalau aku berangkat pagi bareng Mitha karena ada jadwal piket. Sekarang sudah jam 5.25. Berarti aku masih punya waktu 35 menit lagi sebelum pelajaran tambahan dimulai, tepat jam 06.00 pagi.

Aku keluar rumah secara perlahan-lahan. Bibi membuntutiku dari belakang. Dia ikut membantu membukakan pagar. Kalau dua orang yang buka suaranya bisa lebih pelan. Apalagi tadi malem aku sudah suruh bibi untuk memberi minyak supaya pagarnya nggak seret waktu dibuka. Kalau seret bisa menimbulkan suara yang keras dan nggak enak. Kalao sudah begitu, rencanaku bisa ketahuan.

Rencana awal berjalan mulus. Aku sudah di luar pagar. Segera kusongsong jalan setapak menuju ke depan komplek. Kusapa pak satpam penjaga komplek, sambil mengingatkan perjanjian kami tadi malam. Selain bibi, pak Satpam juga sudah kusogok. Supaya kalo mami papi nanya tentang aku, bilang aku tadi pagi berangkat sama Mitha.

Aku sudah sekitar 10 langkah menjauhi gerbang komplek. Sambil jalan, kuhirup udara pagi yang segar. Hmm….kalau nggak jalan kaki nggak mungkin bisa merasakan yang kaya begini, pikirku. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 5.35 pagi. Gawat!! Tinggal 25 menit lagi. Kupercepat langkah kakiku. Sebentar, kembali kukurangi jangkauan langkah kakiku. Sambil mengatur nafas, sambil bersenandung dalam hati. Kali ini lagunya Kuraki Mai yang Stay by My Side. Lagu itu kusenandungkan seperti doa. Supaya Tuhan keep stay by my side. Tentu saja syairnya sedikit kurubah.

Dua menit lamanya aku berjalan agak santai. Setelah itu kembali kupercepat ayunan langkah kakiku. Jangkauannya pun kutambah. Dengan begini aku bisa sampai tepat waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 5.45. Perempatannya saja belum terlihat. Begini caranya aku bisa terlambat nich. Langkah kakiku semakin kupercepat. Kini aku sedang dalam tahap tiga per empat lari. Akhirnya sampai juga di perempatan. Masih ada 10 menit. Perempatan masih sepi. Langsung saja kuseberangi....

(To be Continued)

Tidak ada komentar:

 
>